Pariwisata Berkelanjutan: Tantangan Pertumbuhan Destinasi Indonesia

Indonesia, dengan kekayaan alam dan budayanya yang melimpah ruah, terus menargetkan pertumbuhan signifikan di sektor pariwisata pascapandemi. Ambisi ini terefleksi dalam pengembangan destinasi super prioritas dan berbagai kebijakan untuk menarik lebih banyak wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Namun, di tengah gempita target angka kunjungan dan devisa, muncul pertanyaan krusial: seberapa siapkah Indonesia mengelola pertumbuhan ini secara berkelanjutan? Konflik antara keinginan untuk memacu ekonomi dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan serta budaya lokal menjadi dilema yang harus diurai demi masa depan pariwisata Indonesia yang resilient dan bertanggung jawab.

Dilema antara Jumlah dan Kualitas Wisatawan

Pemerintah Indonesia secara konsisten mengusung narasi pertumbuhan jumlah wisatawan sebagai indikator keberhasilan sektor pariwisata. Namun, belakangan, perdebatan mengenai kualitas wisatawan versus kuantitas semakin mengemuka. Contoh paling nyata terlihat di Bali, destinasi primadona yang kerap menghadapi masalah seperti overtourism, sampah, hingga pelanggaran norma budaya oleh beberapa turis asing. Fenomena ini memicu kesadaran bahwa jumlah yang besar tidak selalu berbanding lurus dengan manfaat ekonomi yang optimal, apalagi dengan dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial budaya. Konsep low-impact, high-value tourism atau pariwisata berkualitas, yang mengedepankan wisatawan dengan daya beli tinggi dan kesadaran lingkungan, mulai didorong sebagai alternatif.

Pariwisata berkualitas menekankan pada pengalaman otentik, partisipasi aktif dalam kegiatan lokal, dan minimnya jejak karbon. Ini berbeda dengan pariwisata massal yang seringkali menimbulkan tekanan berlebih pada infrastruktur, sumber daya alam, dan kearifan lokal. Pengembangan destinasi super prioritas seperti Labuan Bajo, Mandalika, Danau Toba, Borobudur, dan Likupang, seyogianya tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik megah, tetapi juga pada kapasitas dan edukasi masyarakat setempat, serta penerapan standar lingkungan yang ketat. Tanpa keseimbangan ini, upaya promosi yang gencar justru bisa menjadi bumerang, mengikis daya tarik utama destinasi itu sendiri: keindahan alam dan keunikan budayanya.

Infrastruktur dan Kesiapan Komunitas Lokal

Pembangunan infrastruktur pariwisata yang masif memang esensial untuk mendukung pertumbuhan sektor ini. Bandara, jalan, dan akomodasi modern adalah prasyarat dasar. Namun, seringkali aspek-aspek penunjang yang tak kalah penting, seperti sistem pengelolaan sampah yang memadai, ketersediaan air bersih, energi terbarukan, dan transportasi publik yang efisien, justru tertinggal. Di banyak destinasi yang sedang berkembang, permasalahan sampah menjadi momok serius, mencemari laut dan daratan, serta mengurangi estetika alam. Keterbatasan air bersih juga menjadi isu kritis, terutama di pulau-pulau kecil atau daerah yang padat penduduk.

Selain infrastruktur fisik, kesiapan komunitas lokal juga menjadi fondasi keberlanjutan. Pariwisata yang berkelanjutan harus mampu memberikan manfaat ekonomi yang adil bagi masyarakat setempat, bukan hanya segelintir investor besar. Pelibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan pariwisata, pelatihan keterampilan, dan dukungan untuk produk-produk lokal, merupakan langkah krusial. Program-program ekowisata dan pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism) perlu diperbanyak dan diperkuat, agar masyarakat menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan kekayaan budaya mereka. Tanpa dukungan dan kepemilikan dari komunitas, upaya keberlanjutan hanyalah wacana di atas kertas.

“Pariwisata bukan sekadar angka kunjungan, melainkan bagaimana kita melestarikan keindahan alam dan budaya, serta memastikan manfaatnya dirasakan secara adil oleh masyarakat lokal agar warisan ini dapat dinikmati generasi mendatang.”

Menciptakan pariwisata yang berkelanjutan adalah investasi jangka panjang. Dibutuhkan visi yang holistik, kolaborasi erat antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat sipil. Dengan demikian, Indonesia dapat terus menjadi magnet bagi wisatawan, sembari menjaga keunikan dan kelestarian yang menjadikannya begitu istimewa.

  • Indonesia menghadapi tantangan menyeimbangkan ambisi pertumbuhan jumlah wisatawan dengan prinsip keberlanjutan lingkungan dan budaya.
  • Pergeseran fokus dari kuantitas menuju kualitas wisatawan menjadi kunci untuk mengurangi dampak negatif dan memaksimalkan manfaat ekonomi.
  • Pembangunan infrastruktur harus holistik, mencakup pengelolaan sampah dan air bersih, serta energi terbarukan.
  • Keterlibatan dan pemberdayaan komunitas lokal sangat penting agar pariwisata memberikan keuntungan yang adil dan berkelanjutan.
  • Kolaborasi lintas sektor diperlukan untuk mewujudkan pariwisata Indonesia yang resilient, bertanggung jawab, dan lestari bagi generasi mendatang.