Polemik Zonasi PPDB: Antara Asa Pemerataan dan Realitas Kesenjangan

Musim Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kembali tiba, dan seperti tahun-tahun sebelumnya, gelombang protes serta keluhan masyarakat tak terhindarkan, terutama terkait sistem zonasi. Kebijakan yang mulanya dicanangkan untuk mewujudkan pemerataan akses pendidikan dan mengurangi kesenjangan kualitas sekolah ini, justru kerap menjadi sumber frustrasi bagi jutaan orang tua dan siswa di seluruh Indonesia. Isu manipulasi data, praktik ‘titip-menitip’, hingga ketidakadilan dalam penentuan jarak menjadi sorotan utama yang menggerus kepercayaan publik terhadap sistem ini setiap tahunnya.

Dilema Zonasi: Antara Asa Pemerataan dan Kesenjangan Kualitas

Sistem zonasi diperkenalkan dengan tujuan mulia: memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses sekolah terdekat dari tempat tinggalnya, tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi. Harapannya, hal ini akan mendorong peningkatan kualitas sekolah-sekolah di pinggir kota atau daerah yang selama ini kurang diminati, sehingga tidak ada lagi sekolah ‘favorit’ dan ‘non-favorit’. Namun, realitas di lapangan menunjukkan tantangan yang kompleks. Kesenjangan kualitas antara sekolah negeri yang ‘berlabel’ unggulan dan sekolah lainnya masih sangat terasa.

Banyak orang tua merasa anak-anak mereka dirugikan karena, meskipun berprestasi, terpaksa bersekolah di tempat yang jauh dari harapan atau kualitasnya dirasa kurang memadai, hanya karena terbentur aturan zonasi. Fenomena ‘kartu keluarga sakti’ atau manipulasi domisili menjadi bukti nyata betapa orang tua berupaya keras mengakali sistem demi mendapatkan kursi di sekolah impian. Praktik pindah domisili sementara menjelang PPDB, atau bahkan pemalsuan data, mencoreng semangat kejujuran dan integritas.

Selain itu, kondisi geografis yang tidak merata di Indonesia juga menimbulkan kendala. Di beberapa daerah, kepadatan penduduk dan minimnya jumlah sekolah negeri membuat penetapan zonasi menjadi tidak realistis, menyebabkan siswa harus menempuh jarak yang sangat jauh atau tidak mendapatkan sekolah sama sekali di zona mereka. Ini menciptakan ironi, di mana niat baik untuk pemerataan justru memicu ketidakadilan baru bagi sebagian kalangan. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah berulang kali melakukan evaluasi dan penyesuaian aturan zonasi, termasuk penambahan jalur prestasi dan afirmasi. Namun, setiap perubahan selalu diikuti dengan dinamika dan problematika baru yang tak kalah rumit. Kebijakan ini, yang seharusnya mempermudah, seringkali justru memperumit proses masuk sekolah bagi banyak keluarga.

Mencari Solusi Jangka Panjang untuk Pendidikan Adil

Untuk mengatasi polemik PPDB zonasi yang tak berkesudahan, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan jangka panjang, bukan sekadar tambal sulam aturan. Akar masalahnya bukan hanya pada sistem pendaftaran, melainkan pada kualitas pendidikan yang belum merata. Selama kesenjangan kualitas antara sekolah masih mencolok, selama itu pula orang tua akan selalu mencari cara untuk menyekolahkan anaknya di tempat yang dianggap terbaik.

Pemerintah perlu mempercepat program peningkatan kapasitas guru secara merata di seluruh jenjang dan wilayah, menyediakan fasilitas belajar yang memadai di setiap sekolah, serta memastikan kurikulum yang relevan dan inovatif dapat diimplementasikan secara efektif. Investasi pada infrastruktur pendidikan, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), adalah kunci untuk menciptakan sekolah-sekolah yang berkualitas di setiap zona. Selain itu, pengawasan yang ketat dan sanksi tegas bagi pelanggaran aturan PPDB, termasuk manipulasi data, harus diterapkan tanpa pandang bulu. Transparansi proses PPDB juga perlu ditingkatkan, mungkin dengan memanfaatkan teknologi digital yang lebih canggih dan tidak mudah dimanipulasi.

Peran serta masyarakat, terutama komite sekolah dan pengawas pendidikan, juga vital dalam memastikan integritas proses. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Dengan pemerataan kualitas, sistem zonasi dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu sebagai alat untuk distribusi siswa yang adil, bukan lagi sebagai penghalang atau sumber konflik.

“Sistem zonasi PPDB tidak akan berjalan optimal jika tidak diiringi dengan pemerataan kualitas guru, sarana prasarana, dan kurikulum di setiap sekolah. Inilah fondasi utama yang harus diperbaiki secara sistematis agar kebijakan ini benar-benar membawa keadilan pendidikan.” – Prof. Dr. Ir. Fulan, Pakar Pendidikan Universitas Indonesia.

  • Sistem zonasi PPDB bertujuan pemerataan akses dan kualitas pendidikan, namun dalam praktiknya masih menghadapi berbagai polemik seperti manipulasi domisili dan kesenjangan kualitas sekolah.
  • Kesenjangan kualitas antar sekolah menjadi pemicu utama orang tua berupaya mengakali sistem zonasi demi pendidikan terbaik bagi anaknya.
  • Dibutuhkan solusi jangka panjang yang berfokus pada pemerataan kualitas pendidikan secara menyeluruh, bukan hanya pada aturan PPDB.
  • Peningkatan kapasitas guru, fasilitas sekolah, pengawasan ketat, serta transparansi proses adalah kunci keberhasilan sistem zonasi.
  • Kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan institusi pendidikan sangat esensial untuk mewujudkan pendidikan yang adil dan berkualitas bagi semua.